Wednesday, August 8, 2012

Mengintip Sawai Dari Puncak Gunung Kapur

Catatan Perjalanan Ronal Regan (Ambon)

Sawai adalah sebuah surga pariwisata di Seram Utara, Maluku.  Pesona alamnya nan asli terlalu indah dan sangat sayang untuk tidak ke sana. Sudah banyak wisatawan ke Sawai, termasuk seniman fotografi menemukan view untuk merekam pesonanya.  Saya membidik dari sebuah sudut di tebing dicapai dengan risiko tergelincir.  Jika tak sabar, bisa remuk di dasar jurang.

Belum lama ini, ada dua rombongan wisatawan ke Sawai.  Satunya kelompok orang muda Ambon bernama Badati, sedangkan satunya lagi adalah Archipelago Team. Saya beruntung bisa berbaur dengan dua kelompok ini. Sebab dalam pergaulan kami, ada Firama Latuheru dan Woody Noya Nusale yang bisa mengajari saya trik memotret landskap.

Pagi itu cuaca cerah.  Matahari bersinar lembut dari timur. Alam menebar pesona kabut di gunung, tapi matahari memancar membuat laut pun berkilau.

Saya dan Rian Tuanakotta punya rencana dadakan mendaki salah Gunung Kaititi di Sawai.  Kaititi adalah sebuah gunung kapur yang ekstrim.   Bebatuan kapur rapuh menghiasi  permukaan tanah membuat saya dan Rian tertantang mendakinya.

Usai merayakan ulang tahun fotografer Woody Noya Nusale, dan melepas rombongan kru Badati kembali ke Ambon, saya dan Rian menyiapkan peralatan fotografi dan perbekalan. Ditemani pemandu lokal dari Sawai, kami bertiga memulai pendakian.

Sejak start, jalan sudah mendaki. Kemiringan lereng di atas 70 derajat membuat kami bukan lagi berjalan, melainkan merangkak. Kami melewati tebing-tebing terjal, masuk ke dalam goa kecil, melintas hutan bambu dan hutan lebat.

Satu jam pendakian diselingi tiga kali beristirahat, akhirnya sampai juga di puncak gunung yang ditutupi kapur tajam dan rapuh. Berkali-kali kami terpeleset dan jatuh dengan beban bawaan yang dipikul. Kelelahan lenyap diganti kepuasan tersendiri saat mencapai puncak.  Tak ada lagi keluh-kesah.  Semua hilang seketika begitu berdiri di puncak dan memandang keluasan di depan mata.

Terik matahari di atas kepala tak terasa di kulit.  Hembusan angin kencang terasa sejuk menambah kenikmatan. Saya mulai menaiki ujung batu-batu karang.  Tempat ini sudah terbayang sejakk pertama kali saya tiba di Sawai.  Dari laut, titik ini selalu menggugah imajinasi.

Tak menunggu lama-lama, saya dan Rian mulai beraksi seperti fotografer profesional. Klik sana klik sini. Tak habis-habisnya saya mengambil gambar. Awan terus berubah bentuk membuat saya harus berkali-kali mengambil objek yang sama dengan situasi berbeda. Rian pun sibuk mengikuti jejak yang saya ambil untuk menuju puncak.

Saat menuruni sisi lain dari puncak yang terjal dan rapuhnya batu kapur. Wao, saya tiba di celah yang eksotis. Saya tahu betapa berbahaya bergelantungan di batu kapur yang rapuh. Tangan kanan berpegang di batu dan tangan kiri memotret. Hasilnya, terlihat dari celah itu Negeri Sawai yang indah. Biru laut seperti biru langit.

Ah Sawai begitu komplit.  Dasar laut, dalam laut, muka laut, tepian pantai, sungai, bukit, flora, fauna, semuanya ada.  Juga penduduk yang ramah dan gaul dengan turis, juga Ali Lisaholet dengan penginapan terapung Lisar Bahari, semua begitu indah.    Pesonanya adalah magnit yang sungguh nyata. Sawai adalah kenangan manis.  Hati selalu rindu kembali.

No comments:

Post a Comment