Monday, March 18, 2013

Hikayat Kedatangan Penduduk Pulau Ambon


Peta pulau Ambon

ASAL mulanya Pulau Ambon, Kepulauan Lease, Pulau Manipa, Ambalau, Kelang dan Pulau Buano tidak berpenghuni. Pulau-pulau yang dihuni oleh manusia adalah Seram dan Buru. Orang-orang tersebut tinggal di gunung-gunung dan dikenal sebagai orang-orang Alifuru. Oleh orang Ambon mereka diakui sebagai penduduk asli pulau Seram.

Menurut hikayat leluhur di pulau Ambon orang-orang yang pertama kalinya mendiami Pualu Ambon datang secara bertahap. Mereka itu berasal dari pulau Jawa, Seram dan Pulau Halmahera. Hal ini diceriterakan oleh 3 orang tokoh yang berasal dari jazirah Leihitu yaitu Imam Rijali dari desa (dulu disebut begeri) Hitu. Orang Kaya (jabatan sebagai pembantu raja) dari desa Hila dan Raja Hitu Lama dari desa Hitulama.

HIKAYAT KEDATANGAN ORANG-ORANG KE PULAU AMBON 

(Ceritera Imam Rijali)

PADA mulanya orang-orang pertama yang datang ke pulau Ambon berasal dari pesisir teluk Tanunu di Pulau Seram. Rombongan pertama dipimpin oleh Pati Selang Binaur. Dalam perjalanan ke Ambon mereka tiba di pantai negeri Hitulama dan menetap di gunung Paunusa.

Rombongan kedua yang datang dari pulau jawa. Konon diceriterakan bahwa pada waktu itu Raja Tuban di Jawa Timur berselisih dengan saudara-saudaranya masing-masing Kiai Tuli, Kiai Daud dan Nyai Mas. Akibat perselisihan yang tidak dapat diselesaikan lagi maka berangkatlah ketiga orang bersaudara itu dengan pengikutnya meninggalkan Tuban. Mereka berlayar menuju ke Timur dan sampailah mereka di Jazirah Hitu dan membuang sauh atau jangkar di pelabuhan Husekaa.

Orang petama turun dari perahu adalah Kiai Tuli. Dengan beberapa orang pengikutnya ia berkeliling untuk melihat-lihat kalau-kalau ada orang di tempat itu. Setelah menanti beberapa saat di tepi pantai ternyata tidak Nampak seorangpun yang ada hanya seekor anjing. Kiai Tuli menyuruh menangkap anjing itu dan pada lehernya digantungkan beberapa jenis buah-buahan yang mereka bawa dari pualu Jawa. Anjing itu kemudian dilepaskan dan binatang itu masuk ke dalam hutan.

Tidak lama kemudian anjing itu datang lagi dan pada lehernya tergantung pula buah-buahan yang lain. Berkatalah Kiai Tuli; “daerah ini ada penghuninya marilah kita mengikuti anjing ini mengantar kita kepada tuannya agar kita dapat berkenalan.” Rombongan Kiai Tuli berjalan mengikuti anjing itu masuk hutan.

Dalam perjalanan bertemulah mereka dengan seorang laki-laki dan ditunjuklah laki-laki itu agar bersedia mengantar mereka menuju tempat kediamannya. Mula-mula ia menolak namun setelah dibujuk-bujuk akhirnya ia bersedia mengantarkan rombongan Kiai Tuli menuju negerinya (perkampungan). 

Rombongan Kiai Tuli diantar menghadap Pati Selang Binaur dan diterima dengan baik oleh penduduk di sana. Akhirnya tinggallah kedua suku bangsa itu di Pulau Ambon dengan rukun dan damai.

Diceriterakan bahwa orang-orang (rombongan) ketiga yang datang ke pulau Ambon berasal dari Pulau Halmahera. Raja Halmahera memiliki dua isteri. Isteri pertama berasal dari Halmahera dan isteri kedua berasal dari Pulau Jawa. Masing-masing isteri telah memiliki seorang putera sehingga di kerajaan ini telah ada dua calon pengganti raja.

Ketika raja meninggal timbullah perselisihan di antara kedua saudara itu memperebutkan tampuk pemerintahan ayah mereka. Ternyata secara diam-diam sebelum raja meninggal ia telah menulis sebuah surat wasiat yang isinya menunjuk bahwa puteranya dari isteri pertama yang berhak menggantikannya sebagai raja di Halmahera sedangkan adiknya ditunjuk menjadi raja di kerajaan Bacan yang merupakan wilayah kekuasaan Halmahera.

Sang adik tidak puas dengan keputusan ayahnya timbulah peperangan di antara kedua saudara tadi. Walaupun dalam peperangan itu adik berhasil menghancurkan kerajaan Halmahera dan menaklukkan kakaknya, ia tidak menetap di Bacan tetapi bersama rombongan berlayar menuju ke Seletan yaitu ke Pulau Ambon.

Di tengah perjalanan beberapa orang pengikut anak raja memisahkan diri. Ada sebagaian menuju pulau Buru dan ada lagi yang menuju ke pulau Seram. Mereka yang menuju Seram akhirnya menetap di sana setelah mengawinkan salah seorang puteri dari rombongannya dengan penguasa Seram di negeri Lisabatta dan menjadi Orang Kaya (pembantu raja) di sana.

Adapun rombongan putera raja melanjutkan perjalanan ke Ambon. Ketika melewati tanjung Sial di Pulau Seram ia memerintahkan salah seorang pengikutnya yang bernama Sablat untuk turun dan tinggal di negeri Waiputih. Sablat kemudian menjadi Orang Kaya pertama di Waiputih. 

Rombongan putera raja melanjutkan perjalanannya sampai di Pulau Ambon dan mendarat di pantai Hitu kemudian mendirikan sebuah negeri baru.

Rombongan keempat yang datang di pulau Ambon adalah dari Negeri Gorom di Seram Timur. Dikisahkan pada waktu itu di Gorom hiduplah seorang laki-laki yang bernama Kiai Patih. Mula-mula ia tinggal di Kaitetu dekat tanjung Nukuhali. Pada suatu hari datanglah sebuah perahu nelayan ke Kaitetu milik Perdana Djamilu. Rombongan nelayan ini bertemu dengan Kiai Patih. 

Sekembalinya mereka ke Gorom pertemuan mereka dengan Kiai Patih di laporkan kepada Perdana Djamilu dan hal ini membuat Perdana Djamilu ingin bertemu dengan Kiai Patih. Beberapa hari kemudian berangkatlah Perdana Djamilu ke pulau Ambon menuju Kaitetu.

Setelah beberapa hari berlayar, tibalah Perdana Djamilu di pantai bertemu dengan Kiai Patih yang hendak berlayar. Bertanyalah Perdana Djamilu kepada Kiai Patih; “dari manakah saudara datang dan hendak kemanakah saudara pergi?” Kiai Patih dengan tenang menjawab bahwa ia dan pengikut-pengikutnya hendak menuju Gorom. Tawaran ini disetujui oleh Kiai Patih maka berangkatlah dua rombongan itu. Setelah tibadi Gorom, Perdana Djamilu mengawinkan puterinya dengan Kiai Patih.

Ceritera Raja Hitulama

RAJA Hitulama membeberkan tuturan kisah kedatangan orang-orang pertama di Pulau Ambon yang dikemukakan oleh Imam Rijali maupun orang Kaya Hila. Menurutnya orang-orang yang pertama tiba di Pulau Ambon berasal dari pulau Seram yang dipimpin oleh Pati Selang Binaur. Rombongan singgah di pantai Hitu dan seterusnya menetap di sana. Sampai sekarang orang-orang Hitu Lama tetap mengenal ceritera ini.

Raja Hitulama Kila-Keli adalah turunan dari Pati Kawa dari kerajaan Tuban menceriterakan kisah ini demikian: Alkisah Raja Tuban mempunyai enam orang putera dan seorang puteri yang bernama Nyai Mas. Pada suatu hari raja Tuban menyuruh putera bungsu yang bernama Paturi mengambil air dari kendi pusaka miliknya, tetapi tanpa sengaja ia memecahkan kendi pusaka itu sehingga raja menjadi murka.

Paturi kecewa dan ia memohon kepada ibunya supaya diberi izin meninggalkan istananya pergi merantau. Ibunya sangat sedih, ketika mendengar niat anaknya yang tidak dapat lagi dicegah. Berangkatlah Paturi meninggalkan ibunya. Paturi berjalan menuju pantai dan ketika sampai disana duduklah ia diatas pasir. Paturi kemudian berdoa dan berkata bila ia betul-betul keturunan anak raja Tuban, biarlah saat ini ada perahu yang akan membawanya berlayar jauh. Tiba-tiba naiklah dari dalam laut sebuah perahu lengkap dengan peralatannya seperti yang digambarkan oleh Paturi.

Beberapa saat kemudian datanglah utusan dari kedua saudara Pati Kawa dan Nyai Mas memanggilnya pulang tetapi putera bungsu ini tetap bersikeras untuk tidak mau kembali ke rumah. Ia bahkan berkata kepada utusan kedua saudaranya itu bahwa ia sudah siap berangkat meninggalkan Tuban dengan perahunya. Kembalilah utusan itu dan mengabarkan berita tersebut kepada Pati Kawa dan Nyai Mas. Mendengar hal ini keduanya berkemas menuju pantai mnemui saudara bungsunya. Mereka juga ingin berlayar meskipun belum tahu kemana arah tujuan yang akan dituju. Dengan menyiapkan bekal berlayarlah kakak beradik itu. Ketika perahu meninggalkan Tuban sepakatlah mereka untuk berlayar ke arah Timur.

Beberapa waktu kemudian tibalah mereka di Pulau Manipa dekat pulau Buru. Di Manipa turunlah beberapa orang anak buah perahu untuk tinggal di sana. Mereka yang tinggal mendirikan sebuah negeri baru yang dinamakan Tuban sesuai dengan nama asal daerah mereka. Selanjutnya rombongan terus berlayar menuju ke sebuah negeri di jazirah Hitu, yaitu Negeri Lima. Di sana beberapa orang anak buah perahu menetap dan menjadi anak negeri.

Perjalananpun dilanjutkan dan kini tiba di pantai Hitu. Ketika sedang beristirahat di pantai Hitu, turunlah ke darat dua orang anak buah perahu yaitu Tukang dan Sopalio untuk tinggal di sana. Beberapa bulan kemudian tersiarlah berita bahwa kedua orang itu telah diangkat menjadi penasehat di negeri Latea.

Perahu beserta rombongan yang tersisa melanjutkan pelayarannya dan singgah di pantai Hutumuri. Tiba di pantai Hutumuri beberapa dari anak buah perahu turun lagi ke darat untuk mengambil kayu di hutan tetapi mereka juga tidak kembali lagi, sebab telah tinggal membangun sebuah pemukiman baru. Raja pertama di negeri yang baru itu adalah Pati Tunawa.

Perjalanan kembali dilanjutkan dan perahu singgah di pantai pasir Putih negeri Tial dan Negeri Suli. Raja pertama di Pasir Putih adalah Lillobessy dan seorang lain di Suli (namanya tak diketahui). Tiga saudara kandung itu terus melanjutkan perjalanan dan pada suatu hari tibalah mereka di negeri Hatusua (pesisir selatan Seram). Di sini ada lagi anak buah kapal yang turun ke darat dan tidak kembali; yaitu Toma Ela Pelu dan Tahalele yang akhirnya menjadi kepala soa di Mataulu Hulang sebuah Hatusua.

Dari Hatusua perahu terus berlayar dan membuang jangkar di pantai jazirah Hitu. Ketika Pati Kawa naik ke darat bertemulah ia dengan seekor anjing. Anjing itu ditangkapnya dan pada leher binatang itu Pati Kawa menggantungkan bungkusan kecil berisi bawang, lada dan garam dan membiarkan anjing itu masuk ke dalam hutan. Beberapa lama kemudian binatang itu kembali lagi ke pantai dan pada lehernya terkait buah-buahan seperti pisang, jambu dan langsat.

Anjing itu ditangkap oleh seorang inang pengasuh dari Paturi yang bernama Besi selanjutnya menetap di situ setelah mendapat izin dan Tomuwolon raja negeri itu.

Sumber : beritamaluku.com dan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Maluku dan Malut

No comments:

Post a Comment