Tuesday, November 6, 2012

Takpala "Gunung" Pemersatu Alor

KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Kampung adat Takpala di Desa Lembur Barat, Kecamatan Alor 
Tengah, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, menjadi simbol 
pemersatusuku-suku di Alor. Suku-suku lain di Alor diperkirakan lahir 
dari perkampungan ini.
Oleh : Kornelis Kewa Ama

Takpala terletak di Desa Lembur Barat, Kecamatan Alor Tengah, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Kampung ini memiliki sejarah tua sebagai pemersatu semua suku di Alor. Takpala berarti gunung sumber kekuatan dan pemersatu bagi suku-suku di Alor.

Jalan menanjak dengan kemiringan 40 derajat dan berlubang. Aspal terkelupas membentuk cekungan-cekungan kecil. Kiri-kanan jalan terdapat rumah–rumah penduduk dari bahan lokal, setengah beton. Warga cukup ramah menegur tamu yang lewat. Mereka paham, yang datang adalah turis, ke kampung adat Takpala.
Menjangkaui kampung adat itu tak sulit. Perjalanan dari Kalabahi, (ibu kota kabupaten), cukup membutuhkan waktu sekitar 30 menit, sepeda motor atau roda empat. Pada Km 10 dari Kalabahi, terdapat sebuah papan di pinggir kanan jalan bertuliskan, ”Masuk Kampung Tradisional Takpala, 200 meter”.

Tiga suku besar

Ada tiga suku besar menghuni kampung adat Takpala, yakni Aweny, berposisi sebagai raja. Aweny memiliki beberapa suku kecil antara lain Kafelkay, Lema, dan Kafolakani. Suku Marang sebagai juru bicara adat dengan dua marga yakni Atama dan Yetimau. Suku Kapitang (ahli perang) dengan marga Heitingkai.

Penjaga kampung adat Takpala, Martinus Kafelkai, di Takpala, Alor, Jumat (28/9/2012), mengatakan, kampung adat Takpala sebagai lambang kebesaran dari suku ”Abuy” selaku koordinator suku-suku di Pulau Alor. Karena itu Takpala oleh warga setempat disebut ”gunung besar”.

Suku yang berada dalam naungan Takpala memiliki 52 bahasa daerah atau 52 suku. Bahasa daerah berbeda satu sama lain. Tetapi di antara 52 bahasa daerah, salah satunya adalah bahasa Lamaholot (Kabupaten Flores Timur, Lembata, dan sebagian besar Kabupaten Alor). Cakupan pemakai bahasa daerah Lamaholot hampir 30 persen dari seluruh wilayah Alor.

Ketika Kompas tiba di kampung itu, ada dua turis asing yang sudah tiga hari menginap di lokasi ini. Warga menyediakan satu unit rumah, khusus untuk tamu, tanpa dipungut biaya. Keduanya bernama Steven dan Johan, berkebangsaan Skotlandia. Steven mengaku pernah datang ke kampung itu tahun 2010 dan menginap bersama warga selama lima hari.

”Saya datang untuk selam di selat Pantar. Teman saya, Johan, saya ajak dari Bali. Kebetulan dia juga ingin selam sehingga kami sama-sama ke Alor. Kemarin kami sudah selam, hari ini kami ke kampung Takpala,” papar Steven.

Dulu, setiap tamu agung terutama raja dari kerajaan tetangga yang berkunjung ke Alor, dijemput dan dikawal Kapitang. Mereka memiliki kemampuan berperang yang dinilai tangguh, cerdas, dan pantang menyerah.

Kini, setiap tamu dapat diterima setiap anggota suku di kampung itu. Tidak ada petugas khusus menjaga. Di situ belum ada retribusi. Persis di sudut kampung terdapat tulisan, ”Inilah kampung tradisional Takpala, silakan masuk”.

Belasan warga desa sibuk mengaspal jalan sepanjang 750 meter menuju kampung itu. Para pengunjung terpaksa memarkir kendaraan sekitar 70 meter dari kampung. Jalan itu dibiayai APBD Alor 2012 dengan nilai Rp 350 juta.

Sumber kekuatan

Kampung adat ini diyakini sebagai sumber kekuatan bagi suku-suku yang bernaung di dalamnya. Kekuatan magis masih dianut masyarakat. Di sana tersimpan sejumlah alat tradisional seperti busur, parang, tombak, dan anak panah yang diyakini bisa terbang sendiri menghalau musuh yang menyerang.

Sampai tahun 1970-an, di kampung ini terdapat kekuatan mistis-magis. Ada orang tertentu diyakini bisa terbang melintasi beberapa gunung dan pulau sekaligus, dengan cara merapatkan pulau atau gunung itu. Kini, kemampuan itu mulai sirna, kecuali jauh di pedalaman Alor, belum tersentuh teknologi atau kemajuan modern.

Takpala memiliki tujuh unit rumah tradisional dengan sebuah rumah adat di tengahnya. Rumah adat ini disebut ”Kolwal Kanurat”, berukuran 3 x 3 meter. Namun diyakini sangat sakral. Di dalam Kolwal Kanurat terdapat tombak, parang, busur, dan panah peninggalan leluhur. Tidak semua anggota masyarakat bisa mendekati rumah adat itu.

Darius Yetimau, tokoh adat setempat mengaku rumah di kampung adat itu dibangun dengan menggunakan bahan alamiah. Rumah yang dibangun sesuai struktur adat, disebut Falafaka. Falafaka memiliki lima tingkat. Tingkat pertama berupa panggung, tempat menerima tamu, bermusyawarah, dan tempat tidur kaum pria. Panggung ini terbuat dari bambu atau kayu, lalu dibentangkan tikar yang teranyam dari daun lontar.

Tingkat kedua untuk dapur masak. Tingkat ketiga kamar tidur kaum perempuan, tingkat keempat menyimpan makanan, dan kelima untuk menyimpan moko dan gong adat. Tingkat terakhir ini diyakini juga sebagai tempat tinggal leluhur.

Bahan bangunan rumah ini tidak pernah menggunakan paku, seng, atau besi lainnya. Ada keyakinan bahwa hasil pabrik tidak membawa keteduhan, rasa nyaman, dan sejahtera bagi penghuni rumah itu.

”Kampung adat Takpala dihuni 13 keluarga atau sekitar 36 jiwa. Mereka adalah turunan leluhur Takpala dengan tiga suku yang menghuni di dalamnya,” jelas Yetimau.

Meski hanya 13 keluarga, tetapi saat penyelenggaraan upacara adat, kampung kecil dan sunyi mendadak ramai. Kampung ini terletak di pinggang bukit Takpala, atau sekitar 100 mdpl.

Setiap 20 Juni diperingati upacara ”Tifoltol”, artinya tanam baru. Upacara ini sebagai persiapan musim tanam. Benih padi dan jagung disiapkan setelah direciki air, yang diambil langsung dari sumber mata air bukit Takpala, sekitar 2 km dari kampung. Masing-masing warga dari desa sekitar membawa benih, alat-alat pertanian, diletakan di dalam dan sekitar rumah adat, didoakan ketua adat.

Usai upacara, warga menyiapkan lahan. Mereka menggunakan alat-alat pertanian yang juga sudah didoakan secara adat.

”Tujuannya agar petani yang menyiapkan lahan pertanian itu tidak terluka, tidak ada wabah atau hama tanaman, atau tidak ada gangguan selama proses persiapan lahan. Pekerja sendiri harus memiliki sikap hati yang jujur, jangan serobot lahan warga sekitar, membakar hutan, dan berdamai dengan tetangga serta harus berdamai dengan orang yang sebelumnya dianggap sebagai musuh,” ujar Yetimau.

No comments:

Post a Comment