Friday, July 20, 2012

"Festival Perairan Pulau Makasar", Festival Setengah Hati

FOTO: M DJUFRI RACHIM
Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kementerian 
Kebudayaan dan Pariwisata RI, Gendro Nurhadi (kanan), Wagub Sultra, 
HM saleh Lasata (tengah)' dan aktor Ray Sehatapy pada acara Festival 
Perairan Pulau Makasar di Baubau, Rabu (18/7/2012). 

Laporan : M Djufri Rachim   (fri@journalist.com)


Festival Perairan Pulau Makasar Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, Rabu (18/07/2012) kembali digelar. Kini untuk kelima kalinya, setelah dicetuskan secara perdana oleh Walikota Amirul Tamim, tahun 2008 silam. Perayaan kali ini tidak semeriah festival-festival sebelumnya.

Semangat masyarakat nelayan di Pulau Makasar menyambut ritual tahunan berupa "Tuturangiana Andala" yang dikemas dalam acara Festival Perairan Pulau Makasar (FPPM) masih tinggi. Malam menjelang pelaksanaan acara ritual, para ibu sibuk memasak aneka makanan tradisional, seperti lapa-lapa (beras yang diberi santan lalu dimasak dalam balutan daun muda kelapa), kaantoki (duribabi), ikan bakar, udang dan aneka seefood lain. 

Selain itu ada pula aneka makanan ringan (penganan) seperti cucur (gorengan adonan beras ketan dicampur gula merah/aren), onde-onde, baruasa, bolu, dan aneka makanan yang rata-rata manis. 

Aneka makanan ini kemudian dipersembahkan pada acara "Pekande-Kandea", sebagai awal dari ritual "Tuturangiana Andala". Pekande-Kandea adalah tradisi persembahan makanan tradisional. Aneka makanan disimpan dalam wadah berupa talang berkaki yang terbuat dari logam (kuningan). Setiap talang dijaga gadis-gadis berpakaian adat Buton, yang bercirikan aneka hiasan, manik-manik. Pengunjung kemudian dilayani makan oleh gadis penjaga talang. 

Acara Pekande-Kandea dalam rangka FPPM setiap tahun dipusatkan di Dermaga Kelurahan Sukanayo, Pulau Makasar. Usai acara Pekande-Kandea dilanjutkan Tuturangiana Andala, yakni melarung sesajian di empat sudut perairan Pulau Makasar. Di sini ratusan perahu tradisional nelayan setempat ikut menggiring pelarungan sesajian, memeriahkan pesta di tengah laut itu.

Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara, HM Saleh Lasata, ikut menikmati sajian makanan tradisional tersebut. Duduk disamping kanannya Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI, Gendro Nurhadi. Serta di samping kirinya adalah aktor nasional, Ray Sahetapy yang  ikut menyantap lapa-lapa dan makanan tradisional Pulau Makasar lainnya. Sebagai pejabat dan aktor, kontan saja mereka menjadi pusat perhatian peserta festival. Usai acara makan-makan, mereka pun sibuk melayani permintaan foto bersama masyarakat setempat. 

Masyarakat nelayan setempat meyakini Tuturangiana Andala tersebut dapat membukakan pintu-pintu rezeki di laut sekaligus sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT. Dengan demikian maka mereka tetap nyaman dalam melakukan segala aktivitas penangkapan ikan dan mengambil kekayaan laut lainnya.

Sesajian yang dipersembahkan kepada dewa laut terdiri bahan-bahan “popanga” berupa gambir, buah pinang, daun sirih, kapur sirih, tembakau, dan sejumlah penganan tradisional seperti cucur, wajik, epu-epu, onde-onde, lapa-lapa, dan telur ayam kampung. Juga dilengkapi darah kambing jantan yang diisi dalam gelas yang terbuat dari bambu.

Sebelum dilarung ke laut, terlebih dahulu dilakukan pembacaan ritual yang dipimpin seorang pawang. Bertindak sebagai pawang adalah La Made alias Armudin, warga Baanabungi, Kelurahan Sukanayo, Pulau Makasar. Sesajian tersebut kemudian diarak ke empat titik yakni kau malanga, jangkara, latonda kau/rape, dan bukit kolema. Empat titik tersebut selama ini dikeramatkan karena dianggap mempunyai “penghuni” yang menjaga wilayah Pulau Makasar. 

Benar atau tidak, namun keyakinan Pulau Makasar mempunyai “penjaga” sudah banyak terbukti, misalnya ketika terjadi tsunami akibat gempa tektonik Flores pada Desember 1992, maka banyak daerah pesisir sekitar Pulau Buton hancur, termasuk Waara yang jaraknya hanya satu mil laut arah barat Pulau Makasar, tetapi Pulau Makasar tetap aman-aman saja. Tradisi “Tuturangiana Andala” hampir saja punah, namun dalam lima tahun terakhir, melalui ajang FPPM, acara ritual laut itu kembali hidup.

Walikota Baubau Amirul Tamim dalam kesempatan terpisah mengatakan FPPM sudah menjadi agenda nasional, yang dijadwalkan setiap 18 Juli. Sebagai agenda nasional acara ini pun selalu menarik perhatian wisatawan manca negara. Sebut saja, FPPM tahun 2010 lalu banyak diikuti pelajar asal Korea. Dan tahun ini, acara lomba berenang yang menempuh jarak sekitar satu mil laut, dari pesisir Pulau Makasar menuju pesisir Wantiro Pulau Buton, selain diikuti peserta dari berbagai kabupaten/kota di Sultra juga diikuti perenang asal Amerika Serikat dan Australia.  Sayangnya perenang asal Amerika bernama Caleb hanya menempati urutan sepuluh, sedangkan urutan satu diraih Arif Maulana, perenang asal Kota Kendari. Mereka mendapatkan piala dan sejumlah uang.

Semangat masyarakat menyambut FPPM tersebut nampaknya tidak sekuat semangat pihak  penyelenggara, yang setiap tahunnya ditangani langsung pemerintah setempat. Ini bisa dilihat dari agenda acara yang disediakan. FPPM ke-5 ini hanya menggelar acara Pekande-Kandea, Tuturangiana Andala, dan lomba berenang berikut lomba mendayung perahu tradisional. Sejumlah agenda acara lainnya dihilangkan, misalnya;  “pesta adat Ma’taa” yang senantiasa dipusatkan di Karya Baru, lomba perahu naga, dan acara bakar ikan di Pantai Lakorapu. Kesenian tradisional, seperti tari Kalegoa, tari Linda Pajoge, tari Hekabua, tari Lumense, tari Laoti te Waoti, musik Latatou, serta Kabanti Gambus juga ditiadakan.

Tidak sedikit masyarakat Kota Baubau yang merasa kecewa dengan peniadaan berbagai acara pendukung itu. "Festivalnya kok makin tidak bergairah," kata Jumadi, warga Perumnas Waruruma, Kecamatan Kokalukuna kepada KendariNews.com. 

Menanggapi keluhan warga atas penyelenggaraan FPPM yang terkesan setengah hati itu, pihak penyelenggara beralasan karena bertepatan menjelang bulan puasa. "Acara dipadatkan karena kita akan memasuki bulan suci Ramadhani," kata Sekretaris Kota Baubau, Achmad Arfa dalam sambutan pembukaan FPPM ke-5.

Kendati demikian Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI, Gendro Nurhadi merasa tersanjung ketika berada di Pulau Makasar. Perasaan itu diungkapkan setelah menghadiri acara "Pekande-Kandea". Pada acara itu, Jendro, mengenakan pakaian adat Buton, sebagai penghargaan masyarakat setempat kepada tamu yang dihormati. "Saya merasa tersanjung, dan bangga terhadap kebudayaan masyarakat Pulau Makasar. Mereka masih mampu menjaga dan melestarikan budayanya," kata Gendro.  

Gendro juga mengingatkan bahwa ritual FPPM jangan dicampuradukkan dengan rana agama. Sebab jauh sebelum agama masuk, masyarakat telah menganut suatu sistem dengan sistemnya sendiri. Apalagi ia melihat, dalam ritual tetap menggunakan doa-doa dan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Ditempat yang sama Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara, HM Saleh Lasata, dalam sambutan pembukaan FPPM ke-5 yang berlangsung di Bukit Wantiro, menyatakan agenda FPPM merupakan upaya pelestarian budaya masyarakat, karena itu pemerintah senantiasa mendorong dan mengembangkan acara tersebut. Bahkan lebih jauh dia meminta agar bisa dikembangkan dalam dunia pendidikan melalui muatan kurikulum lokal.

Sumber : http://www.kendarinews.com

No comments:

Post a Comment